Search This Blog

Wednesday, February 25, 2015

Gepeng Undercover (Komik Parodi Gelandangan dan Pengemis Masa Kini)

Judul : Gepeng Undercover (Komik Parodi Gelandangan dan Pengemis Masa Kini)
Komikus : Gino Kasyanto
Penyunting : Zulfa Simatur dan Fitria Pratiwi
Penyunting Grafis : R. Nuruli KWM
Sampul: Gino Kasyanto dan R. Nuruli KWM
Cetakan: Pertama, 2014. 100 hlm
Penerbit : Visimedia


 24737393


Komik Gepeng Undercover adalah salah satu dari seri komik sosial atau sosmic yang diterbitkan oleh Visimedia. Seri ini berupaya mengangkat tema-tema sosial di sekitar kita dalam bingkai panel-panel humor. Sebelum komik ini, saya sudah membaca seri Kolantas (Koplak Berlalu Lintas) yang memotret fenomena kesadaran berlalu lintas di negara kita (terutama di Jakarta) yang masih acak kadut. Sebagaimana seri pertama, buku ini masih memotret salah satu hal memprihatinkan di negara kita, yakni keberadaan kaum gepeng alias gelandangan dan pengemis sebagai kaum yang paling termarginalkan dalam strata masyarakat di perkotaan. Ada empat jenis gepeng yang coba dipotret lewat komik dalam buku ini, yakni pemulung, pengamen, preman, dan anak-anak jalanan.

Empat golongan gepeng ini mungkin menerbitkan rasa iba saat kita melihatnya, namun dalam buku ini, si komikus menggunakan teknik lain dalam menggambarkan kehidupan mereka. Alih-alih iba, kita kadang dibuat jengkel oleh ulah mereka. Pernah kan makan di luar trus rombongan pengamen datang tanpa henti? Makannya mungkin cuma habis Rp15.000 tapi ngasih receh ke pengemis bisa deh dapat Rp10.000. Atau, sering kali kejadian seperti yang digambarkan pada panel-panel di halaman 6 dan 7, ketika pengemis yang kita beri uang ternyata bisa jadi sebenarnya lebih kaya daripada kita. Tidaaakkkkk!

Fenomena gepeng memang tidak bisa dilepaskan dari arus urbanisasi. Minimnya lapangan pekerjaan dan sempitnya lahan membuat orang-orang desa pindah ke kota dengan bekal seadanya, tentu mereka hanya bisa bekerja seadanya. Iming-iming ibukota dengan berbagai lapangan pekerjaan yang ditawarkan membuat orang-orang desa tergoda, setiap habis lebaran mereka berbondong-bondong ke kota walaupun mereka minim ketrampilan dan hanya punya sedikit pengetahuan. Akibatnya, mereka terpaksa mengemis sekadar untuk bisa bertahan hidup. Biarlah jadi pengamen atau pemulung, asal kerja kata mereka. Siklus ini digambarkan dengan kocak sekali di Gepeng Undercover ini.

Menjadi pengemis bahkan sudah dianggap sebagai pekerjaan. Seperti digambarkan di halaman 8 – 9 dan 16 – 17, sejumlah orang berangkat pagi pulang sore dengan memakai pakaian bagus. Kemudian, sampai di suatu titik, mereka akan bersalin dengan busana compang-camping, kaki sengaja diperban, menggunakan kaca mata hitam, membawa kaleng atau mangkuk rombeng, untuk kemudian duduk di suatu spot strategis di pinggir jalan untuk menarik iba dan rasa kasihan. Receh demi receh mereka kumpulkan. Mungkin sepele, hanya lima ratus perak, tapi coba bayangkan seandainya dalam sehari saja ada 100 orang yang memberi. Minimal mereka sudah bisa mengantongi Rp50.000 sehari hanya dengan duduk dan menunjukkan raut iba. Bisa dibilang, omset dari bisnis mengemis ini lumayan tinggi. Tidak heran jika ada kantor khusus yang menyewakan peralatan mengemis ini (hlm 30 – 31)

Ada begitu banyak fenomena gembel yang dipanelkan dalam komik ini. Hanya saja, beberapa panel seperti tidak terlalu berhubungan dengan dunia gembel, seperti gembel yang diculik UFO serta edisi calon mertua (halaman 62 – 63). Beberapa judul sepertinya dipaksakan masuk, dengan embel-embel baju rombeng meskipun secara cerita bukan termasuk gepeng. Namun, kepiawaian komikus dalam bercerita dan menghidupkan panel malah menjadikan cerita-cerita tersebut selingan yang kocak, paling tidak bisa membuat kedua sudut bibir terangkat sejenak.

Selain menyorot kehidupan para gembel, melalui komik ini kita juga bisa melihat pandangan dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang kota dan pamongpraja, pemandangan gembel begitu “mengotori” kota, menjadikan kota semakin kumuh, dan kadang mengganggu lalu lintas. Belum lagi para pengemis gadungan serta pengamen yang kadang cuma bermodal tepuk tangan entah itu nyanyinya apa. Sementara dari sudut pandang para gepeng, kita juga jadi tahu banyak di antara mereka melakukan “pekerjaan” itu karena terpaksa. Himpitan hidup dan minimnya keterampilan menjadikan mereka terpaksa merendahkan derajat dengan menjadi pengemis dan pengamen.

Semoga, lewat buku ini, kita menjadi semakin bijak dalam menghadapi kaum yang termarjinalkan ini, sekaligus tergerak dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan keterampilan pada kalangan yang belum mampu.
(less)

No comments:

Post a Comment